Investor vs. Rentenir
Artikel ini Copy Paste dari Email Jaya Setiabudi, Dicopas di sini karena artikel ini sangat penting!
“Mindset Investor”
Kebanyakan investor masih ber-mindset kapitalisme, bahwa tujuan investasi adalah semata untuk mendapatkan keuntungan, tanpa kerugian. Mereka tak peduli apakah pihak pengelola untung atau rugi, yang penting investor harus untung.
Bisa jadi hal ini dipicu juga oleh institusi seperti perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga (fix rate), seperti tabungan dan deposito.
Nah, mindset menabung itulah yang juga dijadikan acuan kebanyakan investor untuk menghitung tingkat pengembalian dari suatu investasi.
Misalnya, Anda adalah calon investor dan ditawari kerjasama investasi dalam sebuah proyek perikanan senilai 100 juta. Apa yang Anda akan tanyakan terlebih dahulu? Pejamkan mata, dan jawab dalam hati. Teriak juga boleh.
Biasanya, pertanyaan yang akan timbul adalah seperti ini:
Berapa persen keuntungannya?
Kapan balik modalnya?
Berapa duit bagi hasil untukku perbulan?
Apa resikonya?
Salahkah? Gak ada yang salah atau benar, namun pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan menimbulkan janji ‘muluk‘ para pengelola. Bukankah jawaban seperti ini yang Anda inginkan:
Bisa ‘sampai’ 30% perbulan.
3 bulan udah balik modal.
Invest 100 juta, bisa dapat 30 juta perbulan.
Sama sekali gak ada resiko, karena diasuransikan. (iya, ke Mbahmu..!)
Dan jika angka return atau prosentasi bagi hasil perbulan kecil, maka investor akan membandingkan dengan bunga deposito, “Kecil banget, mending aku depositokan, bisa dapat 7% pertahun”. Salah gak? Gak ada yang salah, bahkan sangat dibenarkan oleh faham kapitalis. Seperti pelajaran sekolah kita: Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya.
“Lho, kalau bisnis, ya hitungannya harus bisnis, jangan ngomong agama dulu”. Terakhir yang ngomong seperti ini, jenggotnya lebih panjang dari saya dan pake peci putih, hehehe.
Jarang yang bertanya seperti ini:
Anda sudah menjalankan bisnis ini berapa lama?
Selain bisnis ini, apa saja yang Anda jalankan?
Bisa ceritakan perjalanan bisnis Anda?
Kenapa Anda memilih bisnis ini?
Apa Impian Anda untuk bisnis ini?
Berapa karyawan Anda?
Berapa banyak UKM yang akan terlibat?
Siapa saja tim Anda? Siapa orang-orang ahli di belakang Anda?
Bisa minta laporan keuangan atau proyeksi laba/rugi (bukan laba tok)?
Seberapa besar pasar dan kompetisinya?
Akan bertahan berapa lama bisnis ini?
Apa diferensiasi dibandingkan produk serupa?
Kenapa mereka memilih produk Anda?
Jika saya kucurkan pendanaan, akan Anda gunakan untuk apa?
Jika saya hanya mengucurkan pendanaan setengahnya, akan Anda alokasikan untuk apa?
Jika tak ada yang invest ke Anda, apa yang akan Anda lakukan atau sudah lakukan untuk bertahan?
Apa saja kemungkinan yang membuat bisnis ini rugi?
Kenapa hal-hal seperti itu perlu ditanyakan? Karena pada dasarnya, lebih penting mengenal “The man behind the gun”, dibanding bisnis itu sendiri.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang dilengkapi dengan data, akan dapat dinilai, seberapa serius dia dengan bisnis itu.
Kegagalan dalam investasi, kebanyakan disebabkan:
– Ketidak jujuran pengelola.
– Tidak fokus.
– Kurang ilmu atau pengalaman, hingga salah perhitungan atau strategi.
– Bisnis yang sudah sunset.
– Kurang kontrol dan atau kecolongan keuangan.
– Musibah atau force major.
Jika masalahnya adalah musibah atau kurang ilmu, maka saya akan tetap mempercayainya. Itulah resiko sebagai investor, apalagi jika invest ke bisnis yang masih ‘benih’. Saya pernah memodali bisnis kepada seseorang dan gagal, namun tetap saya modali lagi dan lagi, karena saya tahu attitude-nya baik. Justru sangat rugi jika saya berhenti, sedangkan saya sudah berinvestasi terhadap ‘pendidikan’ dia.
Kembali ke hitung-hitungan ala kapitalis.
Apa bedanya Anda yang mengaku investor dengan rentenir, jika tak mau tahu dan tak mau ikut menanggung kerugian, maunya hanya untung saja?
Apa bedanya riba dengan istilah ‘bagi hasil’ jika bagi hasilnya sekian persen perbulan?
“Boleh rugi duit, asal masih untung pahala. Daripada hilang keduanya, apalagi terputusnya persahabatan dan ilmu.”
Salam,
Jaya Setiabudi
(Founder Young Entrepreneur Academy dan yukbisnis.com)