Noam Chomsky: Obama, “Godfather” Baru AS

(Eramuslim Selasa, 03/11/2009 09:35 WIB)

chomskyIntelektual asal AS Noam Chomsky mengingatkan dunia internasional agar tidak terlalu banyak berharap Presiden AS Barack Obama akan melakukan perubahan signifikan dalam gaya pemerintahan dan kebijakan negeri Paman Sam itu. Menurut Chomsky, AS di bawah kepemimpinan Barack Obama masih akan mempertahankan apa yang disebut Chomsky “prinsip-prinsip mafia” dalam kebijakan luar negerinya.

“Ketika Obama resmi menjadi presiden, Condoleezza Rice bilang Obama akan melanjutkan kebijakan Bush dan sedikit banyak itulah yang terjadi. Yang berbeda cuma gaya retorikanya saja. Padahal yang dibutuhkan adalah perbuatan baik buka cuma retorika. Tindakan yang baik akan memunculkan cerita yang berbeda,” ujar Chomsky.

Ia mengungkapkan hal tersebut dalam ceramahnya di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London, Inggris. Pada kesempatan itu, Chomsky membeberkan berbagai contoh doktin-doktrin kebijakan luar negeri AS sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai masa pemerintahan Obama.

Menurutnya, tidak ada perubahan mendasar dalam konsep fundamental kebijakan luar negeri AS. AS masih tetap berpegang pada keyakinan tradisionalnya bahwa jika AS bisa menguasai dan mengkontrol sumber-sumber energi di Timur Tengah, maka AS bisa menguasai dan mengendalikan dunia. Chomsky menyebut doktrin yang diterapkan AS dalam kebijakan luar negerinya untuk medominasi dunia itu sama dengan “prinsip mafia”.

Iran dan Irak

“Seorang Godfather (sebutan untuk bos mafia) tidak mentoleransi ‘para pembangkangnya, apalagi jika pembangkang itu sukses’. Bagi AS, bersikap seperti itu sangat berbahaya dan oleh sebab itu bagi AS, pembangkang harus disingkirkan agar yang lain tahu bahwa ketidakpatuhan pada AS bukan sebuah pilihan. Pembangkang yang sukses, bagi AS merupakan “virus” yang bisa menular kemana-mana,”papar Chomsky.

Dan salah satu “virus” yang ditakutkan AS sampai saat ini adalah Iran. Ketakutan itu sudah ditunjukkan AS saat menumbangkan parlemen Iran yang terpilih secara demokratis pada tahun 1953. “Tujuan AS waktu itu adalah ingin mengendalikan sumber-sumber minyak Iran,” kata Chomsky.

Tapi AS kembali harus menghadapi “virus” pembangkangan pada tahun 1979, ketika pecah revolusi Islam Iran. Kali ini, upaya AS untuk memusnahkan “virus” itu dengan membujuk militer Iran, gagal total. Dan AS beralih memberikan dukungan pada pemimpin Irak, Saddam Hussein saat untuk melakukan invasi ke Iran.

“Sampai detik ini, AS masih terus ‘menyiksa’ Iran dengan sanksi dan alat tekanan lainnya,” sambung Chomsky.

Ia mencibir tudingan yang menyebutkan kemungkinan Iran membangun program nuklirnya untuk membuat persenjataan. Ia malah menyebutkan bahwa AS-lah yang sudah menyiapkan senjata-senjata anti-misil di Israel, bukan untuk pertahanan negara tapi untuk sewaktu-waktu menyerang Iran.

Chomsky juga mengingatkan kembali hubungan mesra AS dengan mantan pemimpin Irak, Saddam Hussein. Hubungan itu berlanjut hingga selesainya perang Irak-Iran di era tahun 1980-an. AS mengundang para ilmuwan Irak dan memberikan pelatihan dalam bidang program nuklir. AS mulai kesal dengan Saddam Hussein ketika pemimpin Irak itu melakukan invasi ke Kuwait pada tahun 1990-an yang juga salah satu sekutu dekat AS di Timur Tengah.

“AS dengan cepat berubah. Saddam yang tadinya teman akrab AS menjadi sosok yang dianggap seperti reinkarnasi Hitler oleh AS,” tukas Chomsky.

Akhirnya dengan segala cara dan alasan yang manipulatif, AS melakukan agresi ke Irak dan melakukan “genosida” terhadap rakyat sipil di Negeri 1001 Malam itu. Begitu pula di Afghanistan dan kawasan Timur Tengah lainnya, kepentingan AS cuma satu, yaitu menguasai sumber alam berupa hasil minyak bumi yang melimpah di kawasan tersebut dengan atau tanpa kekerasan.

Dan lewat media massa serta sejumlah intelektual pro-pemerintah, pemerintah AS berhasil memanipulasi publik AS dengan mengatakan bahwa kejahatan dan kekejaman yang dilakukan AS adalah untuk “pertahanan” negara atau “intervensi demi kepentingan kemanusiaan.”

Chomsky menambahkan, Obama telah memperluas perang Bush di Afghanistan dengan melibatkan NATO yang digunakan AS bukan untuk memperkuat kontrol AS terhadap suplai energi tapi juga untuk menjaga agar Eropa tetap dibawah kendali AS.

Sumber-sumber minyak di Timur Tengah, kata Chomsky, merupakan “sumber dari kekuatan strategis” dan “salah satu material yang paling berharga dalam sejarah dunia”. Ia mengutip pernyataan mantan presiden AS Eisenhower yang mengatakan bahwa Timur Tengah dan sumber minyaknya merupakan “wilayah yang secara strategis paling penting di dunia.”

Jika AS berhasil menguasai sumber minyak Timur Tengah, maka AS secara subtansial bakal menjadi penguasa dunia. Untuk itu, AS harus memberikan dukungan pada regime yang brutal dan kejam serta menghalangi pembangunan serta demokratisasi di Timur Tengah. Satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan retorika AS selama ini yang katanya ingin menegakkan demokrasi di kawasan itu.

Somalia, Darfur dan Israel

Peran AS dalam kekacauan di Somalia menurut Chomsky, salah satunya adalah kampanye perang melawan teror yang dikobarkan AS. AS berhasil menimbulkan opini bahwa lembaga amal Muslim di Somalia, Barakat adalah salah satu organisasi yang memberikan bantuan pada teroris, sehingga lembaga itu ditutup.

Penutupan Barakat merupakan pukulan berat bagi Somalia karena lembaga ini memainkan peran yang cukup besar dalam perekonomian Somalia. Lembaga amal itu bukan hanya memberikan bantuan bagi orang-orang miskin di Somali tapi juga mengelola bank dan sejumlah perusahaan di negeri itu.

“Barakat adalah bagian penting perekonomian Somalia. Menutup lembaga itu memberikan kontribusi yang besar bagi melemahnya kondisi sosial rakyat Somalia,” ujar Chomsky.

Mengomentari konflik berkepanjangan di Darfur, Chomsky menilai Darfur menjadi korban permainan para aktivis humanis dari Barat yang mendistorsi akar konflik yang sebenarnya terjadi di negeri itu. “Darfur menjadi populer di kalangan humanis Barat. Mereka mendistorsi penyebab konflik dan dengan mudahnya mengkambinghitamkan ‘orang-orang Arab’ dan menyebut ‘para penjahat’ sebagai otak dari kekacauan di Darfur,” tukas Chomsky.

Itu semua pada dasarnya strategi licik yang dimainkan Barat, termasuk AS seperti yang mereka mainkan di negara Kongo dan Rwanda. Di kedua negara itu, mereka membiayai para milisi untuk membunuh dan membantai siapa saja yang menghalangi Barat untuk menguasai sumber-sumber mineral di negeri itu.

Sementara terkait konflik Israel-Palestina, Chomsky berpendapat Obama tidak melakukan upaya yang nyata untuk menekan Israel agar memenuhi kewajiban-kewajibannya, meski sikap Obama terhadap Israel terkesan lebih keras dibandingkan Bush. Pemerintah AS dibawah kepemimpinan Obama, tetap tidak berani menghentikan bantuannya untuk Tel Aviv sehingga Israel merasa tidak perlu mendengarkan kritikan dan mematuhi seruan Washington dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Chomsky menegaskan, publik di AS dan Inggris kini makin terbuka matanya dengan berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Palestina. Tapi sikap Israel tidak akan berubah jika ada tekanan yang kuat dari Barat.

“Masih banyak yang harus dilakukan negara-negara Barat, utamanya AS untuk menekan Israel agar mengubah kebijakan-kebijakannya atas Palestina,” tandas Chomsky. (ln/mol)